Rabu, 15 Mei 2024

Datiak.com

Berita Sumbar Hari Ini, Info Terbaru dan Terkini

Pemilihan Umum Tahun 2024: Melawan Oligarki?

882 pembaca

Robert Michels seorang sosiolog Itali kelahiran Jerman, awal abad 20-an mengemukakan sebuah teori tentang demokrasi yang menyebutkan bahwa, seperti semua organisasi besar lainnya, organisasi (negara/kekuasaan) cenderung berubah menjadi oligarki. Dan dalam catatan sejarah, oligarki sering berubah menjadi tirani.

OLIGARKI berasal dari bahasa Yunani: oligos yang berarti sedikit dan arkho yang berarti memerintah. Oligarki merupakan bentuk kekuasaan yang berada ditangan segelintir orang yang mungkin saja mereka punya kesamaan latar dan kepentingan namun hampir bisa dipastikan mereka menyatu dengan tujuan mendominasi kekuasaan dan bahkan mengkapitalisasi untuk kepentingan kelompok mereka.

Dalam praktiknya, motif oligarki berhubungan penguasaan sumberdaya dan mengakumulasikan secara dominan dalam kelompok kecil. Dalam konteks negara, kekuasaan yang oligarkis hampir dipastikan menggunakan sumberdaya materi pada tahap awal kemudian mengkooptasi seluruh sumberdaya negara dan lembaga yang ada untuk tujuan dominasi dan eksploitasi.

Lalu apa kaitannya dengan pemilu? Sebelum kita menjawabnya, perlu kita melihat sekilas bahwa negara Indonesia menggunakan sistem Demokrasi dalam praktik bernegaranya. Ada beberapa prinsip pokok yang musti dijalankan agar suatu negara layak disebut negara Demokrasi diantaranya: prinsip setiap orang dijamin kesamaan hak untuk memilih pemimpin atau menjadi pemimpin; tersedianya pemilu yang bebas dan jujur untuk menjalan hak tersebut; dan hukum menjadi panglima dimana setiap orang equal dihadapan hukum.

Praktik oligarkis secara teori dan praksis pasti bertentangan dengan prinsip Demokrasi diatas terkhusus jika kita tinjau dari aspek pemilu. Pemilu demokratis mensyaratkan kebebasan, jujur dan adil sedangkan, oligarki menggunakan seluruh sumber daya mereka terutama sumberdaya materi (baca: uang) sebagai alat intervensi dan manipulasi dengan tujuan untuk memastikan kekuasaan yang dihasilkan pemilu bisa mereka kuasai.

Penggunaan uang dalam kontestasi pemilu terutama dalam termis money politics adalah keniscayaan bagi mereka. Hal ini bukan hanya mendistorsi prinsip bebas dalam pemilu tapi juga merusak basis tegaknya prinsip jujur dan adil. Setiap pemilih yang memilih karena motif uang barang atau janji kompensasi materi, mereka bukan hanya dicabut dari akar legitimasi yang mereka miliki tapi juga mengkorupsi nalar/akal sehat mereka.

Pemilih yang dipaksa oleh kuasa materi saat memilih adalah pemilih yang tidak jujur pada tujuan pemilu, tidak bebas dalam memaksimalkan ikhtiar, tidak fair dan pasti tidak berintegritas. Terjadi distorsi sehingga tujuan pemilu untuk melahirkan kekuasaan legitimasi tidak mungkin sepenuhnya terwujud dan sudah bisa dipastikan berdampak pada sistem pemerintahan yang seharusnya berorientasi pada cita-cita proklamasi dan Pembukaan UUD 1945.

Money politics bukan hanya bertentangan dengan teori Demokrasi dan prinsip pemilu yang berkualitas, ia juga merupakan kejahatan (ex.Pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang No. 7 Tahun 2017) sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Implikasi lanjutnya kejahatan ini mungkin makin membesar menjadi kejahatan korupsi dan sebagainya.

Kita wajar berharap pada konstitusi untuk melawan oligarki meskipun sejarah bangsa membuktikan konstitusi bisa saja dikangkangi. Kita pernah berharap pada elit bangsa meskipun kadang mereka bisa saja tak berdaya atau terperdaya.

Namun kita perlu agak serius berharap pada rakyat pemilih agar menjadi gelombang massif melawan oligarki terutama melalui Pemilu 2024.

Ini sejalan dengan pandangan Olle Tornquist, ilmuwan politik Universitas Oslo yang mensinyalir perubahan fundamental-politik (melawan oligarkis) hanya mungkin jika melibatkan popular (masyarakat), bukan berharap pada elit.

Namun hampir saja harapan ini bagai menggantang asap, bagaimana tidak? Dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada kita selalu berteriak lawan money politics, namun kelihatannya bukan makin berkurang malah makin menjadi dan merembet sampai ketingkat desa/nagari.

Hal ini tidak terlepas dari peran pendidikan politik yang terindikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya (lihat UU Parpol) , pendidikan pemilih lebih soal aspek teknis pemilu saja dan begitu juga sosialisasi dan publikasi yang lemah sekali orientasinya untuk pencerdasan politik masyarakat.

Menyongsong Pemilihan Umum Tahun 2024, kita musti serius menggarap isu ini yakni menggunakan instrumen pendidikan politik pemilih dan publikasi media massa untuk membangun kecerdasan politik warga sebagai prasyarat perubahan. Pemilih yang bebas jujur dan adil merupakan ejawantah dari integritas (moral).

Sedangkan integritas hanya akan mewujud jika proses internalisasi nilai Pancasila dan cinta negara/bangsa benar-benar tertancap kokoh disanubari rakyat/pemilih terutama dengan landasan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Moga! (*)


Artikel opini ini ditulis oleh Zulnaidi, SH (Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Padang Pariaman)


Zulnaidi, SH
Penulis