Senin, 29 April 2024

Datiak.com

Berita Sumbar Hari Ini, Info Terbaru dan Terkini

Nelayan di Mentawai Ribuan, Ikan Mahal: Dampak dari Kesalahan Berjemaah

Ilustrasi nelayan tradisional yang sedang memancing di sore hari. (Foto: Pixabay via Pexels)
2332 pembaca
Nelayan di Mentawai ramai, ikan mahal. Kondisi inilah yang dihadapi masyarakat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Padahal, dominan desa di sana dekat dengan laut. Kenapa kondisi ini bisa terjadi? Apa benar karena naiknya harga Pertalite? Atau karena kapal pukat yang tak lagi berlabuh di Mentawai? Menurut penulis tidak.

Penulis akan mencoba menganalisis satu per satu pertanyaan tersebut. Tentunya sesuai yang penulis tahu, selama 28 tahun hidup di Desa Sioban, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Yang pasti, penulis merasakan puncak kondisi dilematis ini sejak tahun 2012 silam.

Penulis lahir di Mentawai dalam keluarga yang erat soal dunia kelautan dan perikanan. Ini tak soal pendidikannya. Namun, ayah penulis adalah seorang nelayan. Sedangkan ibu penulis seorang yang matang dalam perdagangan ikan di desa penulis.

Jadi, kedua pekerjaan itu secara otomatis juga melibatkan penulis. Saat Sekolah Dasar (SD), penulis sudah mencoba rasanya berjualan ikan. Lalu, umur Sekolah Menengah Pertama (SMP) penulis merasakan getirnya menjadi nelayan.

Saat itu, di desa tempat penulis lahir dan tumbuh dewasa, dominan pekerjaan nelayan digeluti warga pendatang (perantau Minang), atau warga “peranakan”. Penulis sendiri masuk ke dalam golongan “peranankan” (campuran Minang dan Mentawai). Lalu bagaimana dengan masyarakat asli Mentawai? Umumnya mereka bekerja sebagai petani.

Nah, sekarang penulis akan mengulas kenapa harga ikan sekarang mahal di Mentawai. Sedangkan data yang penulis himpun dari Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2023, jumlah kelompok nelayan di Mentawai terbilang ramai. Yakni sebanyak 433 kelompok.

Artinya, apabila dibagi rata dengan 43 desa yang ada di Mentawai, setiap desa memiliki 10 kelompok nelayan. Namun, tentunya tidak begitu sistem pembagiannya. Sebab, tidak seluruh desa di Mentawai berada di kawasan pantai. Ada yang di pebukitan, sehingga mustahil masyarakatnya bekerja sebagai nelayan.

Jadi, dapat dipastikan ada desa di Mentawai yang jumlah kelompok nelayannya lebih dari 10. Jika merujuk dari data yang diterbitkan BPS Mentawai tadi, mayoritas kelompok nelayan itu di Kecamatan Sipora Utara. Yakni sebanyak 65 kelompok nelayan. Kecamatan ini adalah Pusat Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Dengan jumlah kelompok nelayan di Mentawai sebanyak itu, mustahil bagi penulis pasokan ikan untuk masyarakat di Mentawai minim. Sehingga, memicu peningkatan harga ikan di sana. Namun memang begitu kenyataannya. Dalam datanya nelayan di Mentawai ramai, sedangkan kenyataannya harga ikan mahal.

Apakah karena harga Pertalite yang naik? Penulis pastikan tidak. Atau karena kapal pukat jarang berlabuh? Ini mungkin saja iya. Tapi, jika memang ada 433 kelompok nelayan di Mentawai, seharusnya soal kapal pukat tak mesti menjadi perkara. Sebab, bagi penulis 433 kelompok nelayan di Mentawai itu jumlah yang fantastis. Jika diestimasikan saja ada 10 nelayan dalam 1 kelompok, berarti terdapat 4.330 orang nelayan di Mentawai.

Manajemen Nalayan

Tahun 2018 lalu, pernah salah seorang kepala daerah bertanya kepada penulis; “Kenapa ya Ris (sapaan penulis) masyarakat kita yang bekerja sebagai nelayan itu, dominan ekonominya dalam garis kemiskinan?”

Karena kepala daerah yang bertanya itu bukan Bupati Mentawai, penulis tentunya hanya dapat menjawab sesuai kondisi kehidupan nelayan yang penulis tahu. Mayoritas, keluarga nelayan menurut penulis terkendala dalam manajemen ekonomi. Sebab, pekerjaan mereka membutuhkan modal setiap harinya. Alhasil, mereka rentan dalam lingkaran gali lubang, tutup lubang.

Memang begitulah yang keluarga penulis rasakan selama mencari nafkah sebagai nelayan di Mentawai. Ada atau tidaknya hasil tangkapan, besok wajib pergi melaut lagi. Jika tak ada modal, tentunya berhutang dulu. Manajemen keluarga nelayan inilah yang mestinya dibenahi pemerintah. Hal ini tentunya bisa diwujudkan lewat BUMDes.

Caranya, dimulai dengan membangun 1 kelompok besar. Tak perlu banyak kelompok nelayan seperti sekarang. Sehingga, mereka dapat melaut menggunakan kapal. Sedangkan soal manajemen pendapatan mereka, dikelola oleh BUMDes. Artinya, BUMDes menjamin kondisi keluarga nelayan tersebut.

Kenapa demikian? Sebab dari 10 kecamatan di Mentawai, hanya Sipora Utara dan Sikakap yang memiliki koperasi nelayan. Jadi, apabila nelayan di desa lain tak mampu membangun koperasi, BUMDes mesti mewadahinya.

Gagasan ini sebenarnya sudah pernah disuarakan ayah penulis di tahun 2002 lalu, agar dibentuknya koperasi nelayan. Namun harapan itu tak terwujud. Kenapa begitu? Jawabannya karena “siluman nelayan”. Jika melaut dengan kapal, mereka tentu tak siap. Makanya, mereka lebih tergiur bantuan perorangan.

“Nelayan Siluman”

Dulu, di desa penulis masih banyak yang menjadi nelayan. Jumlah ini makin ramai ketika turunnya bantuan nelayan di Mentawai. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah mereka berkurang signifikan. Penyebabnya karena menjadi nelayan tradisional itu sulit. Ditambah lagi kapal pukat dari luar Mentawai makin ramai.

Namun, penulis tak menyalahkan kapal pukat luar itu. Sebab, dasar masalahnya memang pola pikir dan pengaruh “siluman nelayan”. Mereka pun lebih memilih bantuan perorangan. Padahal, bekerja di laut yang penuh tantangan, akan lebih baik dilakukan secara berkelompok menggunakan kapal.

Mirisnya lagi, sampai sekarang hal ini masih dipelihara. Bantuan yang berbungkus nama “kelompok nelayan” terus dikucurkan. Padahal, realitanya tak seberapa lagi nelayan yang ada. Inilah yang penulis sebut “siluman nelayan”. Mereka mengubah status sebagai nelayan, hanya demi mendapat bantuan.

Risikonya tentu bantuan yang yang dikucurkan bisa saja seperti tahun 2002. Setelah setahun digunakan, mesin tempel dijual lagi oleh para “nelayan siluman” itu. Apakah nelayan itu bisa disalahkah? Tentunya tidak. Sebab, lemahnya SDM memang mendasar dari pucuknya. Seakan yang mereka pikirkan hanya anggaran terserap, dan konstiuen (tepatnya tim sukses) terbujuk. Mulailah berbenah. Surak. (*)


Tulisan ini telah terbit di Koran Harian Padang Ekspres, dan penerbitannya atas izin dari penulisnya.


Aris Prima Gunawan
Penulis