Senin, 20 Maret 2023

Datiak.com

Berita Terbaru Hari Ini dan Informasi Terkini

Warga Airpura, Mafia Tanah dan Memori Het Painansch Contract

Irwandi penulis opini berjudul "Warga Airpura, Mafia Tanah dan Memori Het Painansch Contract". Warga IV Jurai Pesisir Selatan ini, adalah alumnus Fakultas Ilmu Budaya Adab IAIN Imam Bonjol Padang. (Foto: FB Irwandi)
101 pembaca

Meninggalnya salah seorang warga Airpura sangat menyayat hati. Korban yang merupakan penjaga paru-paru dunia ini adalah bagian dari masyarakat yang selalu melarang kegiatan yang akan merusak hutan.

TUJUAN mulia seorang warga Airpura yang berakhir ke pusara dengan cara yang tragis, mudah-mudahan almarhum ditempatkan ditempat yang mulia di sisi Allah. Tapi perjuangan almarhum seharusnya tidak berakhir. Sebab, ketersediaan oksigen dan air akan selalu dibutuhkan oleh makhluk yang tinggal.

Untuk semua proses hukum mudah-mudahan berjalan seadil-adilnya. Sebab tentu kita yakin dan percaya penegak hukum tentu sangat profesional dalam menangani perkara meninggalnya warga Airpura tersebut.

Bisiak nan alah kadangaran, sorak nan alah bakalampauan. Kabar-kabarnya, kejadian ini diduga kuat merupakan bagian dari upaya oleh sejumlah oknum untuk menguasai lahan, yang berstatus kawasan hutan dengan menggerakan orang suruhan.

Kejadian ini mengingatkan kita ke 350 tahun yang silam atau lebih, dimana pihak penjajah Belanda dengan organisasi dagang yang bernama VOC menjalankan praktik yang persis sama dengan hal ini. Berbagai bujuk rayu mereka tawarkan pada oknum dengan memberikan upeti agar disediakan tempat berdagang.

Ambil contoh peristiwa yang terjadi pada saat Malfarsyah memerangi Raja Adil yang merupakan tangan kanan Kerajaan Aceh di Inderapura. Pihak VOC memberikan bantuan supaya lenyap kekuasaan Aceh dan mereka bisa memonopoli perdagangan.

Mafia dan Het Painansch Contract

Sehebat-hebatnya pihak Belanda kalaulah tidak diberikan izin oleh oknum yang berkuasa saat itu tentu mereka tidak akan bisa mencengkramkan kukunya. Dimulai dengan Sandiwara Batang Kapeh yang diprakarsai salah seorang “mafia” bernama Kende Marajo dan dibubuhkanlah nantinya ada hitam di atas putih di Batavia tahun 1663.

Perjanjian tersebut yang dikenal dengan Het Painansch Contract, yang menjadi salah satu penyebab pantai barat Sumatera Barat secara geografis sekarang dikuasai oleh VOC pada waktu dulu.

Sejarah bisa diumpamakan sebagai kaca spion, saat melaju berguna melihat kejadian dibelakang. Penguasaan daerah kita oleh penjajah tidak terlepas dari peran “para mafia”. Lahir dari tumpah darah yang sama, namun berselera memunahkan warga.

Mereka cerdas dan hebat dalam bernegosiasi, dan didanai. Saat kehebatannya buntu dalam bernegosiasi maka dana digunakan untuk memerangi warga yang menolak.

Mudah-mudahan bisa diselesaikan secara tuntas untuk kasus penembakan di Airpura. Adakah kemungkinan nantinya menjadikan hutan menjadi tempat usaha dengan merusaknya? Jangan sampai “mental mafia” yang membuat tanah ini dikuasai Belanda beratus tahun yang lalu terulang dimasa sekarang.

Tentu, dalam hal ini semua unsur perlu merapatkan barisan dan bergandengan tangan. Hutan kita, sumber devisa yang tidak ternilai harganya demi kelancaran hidup dimasa mendatang. (*)


Artikel opini ini ditulis oleh Irwandi (alumnus Fakultas Ilmu Budaya Adab IAIN Imam Bonjol Padang/warga IV Jurai Pesisir Selatan)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *