Nasi Padang akan Selalu Spesial di Mana Saja Dia Berada
“Kamu ingin hadiah apa ?” saya bertanya lantaran perayaan saat ini istimewa. “Nasi padang, tetapi 2 bungkus,” jawabannya perlahan, tentu dan buat terkejut.
DIULANG tahunnya yang ke-17, Garda, adik lelaki saya mengucapkan keinginan hadiah yang serupa sekali tidak diduga. Bukan uang bukanlah barang, tetapi makanan yang memanglah tidak tiap hari kami makan. Walau awalannya terkejut, sudah pasti kami merestui permohonannya.
Selekasnya sesudah saya mengganggukkan kepala, secara cepat dia pilih sendiri restaurantnya, rumah makan Padang legendaris di Yogyakarta. Di berboncengan belakang, dua buntel nasi padang dengan harga Rp34 ribu didekapnya kuat. Kekeduanya lauk lele goreng plus tambahan perkedel kentang. Seistimewa itu nasi Padang buat Garda.
Di atas motor, pemikiran melayang-layang. Selainnya Garda, rasanya benar-benar gampang cari orang yang tempatkan nasi Padang sebagai sebagai makanan kegemaran. Dari seribu orang yang kita bertanya, kemungkinan ada seribu argumen yang lain mengapa mereka menyukai nasi Padang.
Dari makanan penyembuh kangen (sudah pasti ini buat mereka yang asli Sumatera Barat dan sekelilingnya), rasa yang renyah dan berempah, karena jatah nasi yang besar dan buat tahan lama kenyang.
“Nasi Padang saja, agar malam nanti tidak jajan kembali. Jika dibuntel nasinya banyak terus kenyangnya bertahan lama,” demikian pinta seorang teman kuliah.
Dengan taktik tertentu, makanan di RM Padang ini dapat menjadi benar-benar ekonomis. Pasti dengan catatan: tidak lapar mata menyaksikan timbunan lauk yang diatur menggunung penuhi etalase. Masih ingat iklan sebuah produk, 3 orang teman ke rumah makan Padang dan cuma meminta nasi dan kuah supaya harga murah dan meriah?
Kesedapan, bumbu yang kaya, dan menu yang variasi, membuat nasi Padang dikenali baik oleh warga hampir di semua Indonesia. Masakan urang awak ini ada juga di beberapa tempat searah dengan penyebaran suku Minang, baik di Nusantara atau luar negeri. Setiap kabupaten atau kota kecil yang sempat saya kunjungi, nyaris tentu ada warung makan Padang.
Seperti kata: rasa nasi Padang itu universal untuk orang Indonesia, dapat dicintai oleh semua, lepas dari ikatan suku.
“Paling aman memang nasi Padang. Kalaulah ia pantang makanan banyak mengandung lemak dan bersantan, dapat makan lauk dan daun singkong rebusnya plus ketimun,” demikian kata seorang rekanan kerja, yang selalu mengaplikasikan jurus nasi Padang saat kebingungan tentukan menu makan siang untuk acara kantor. Perasaan aman, lauk bermacam, protein merentang dari hewani sampai nabati, dan gampang diketemukan.
Nasi Padang juga yang menjadi penyelamat saat pertama kalinya saya berpindah pekerjaan ke Kuala Kapuas, Kalimantan tengah. Saat lidah harus menyesuaikan dengan makanan lokal, atau saat lidah ingin suatu hal yang berbumbu medhok, karena itu nasi Padang jawabnya.
Dahulu, saya sempat membuat panggilan “Padang-Padangan”, untuk masakan Minang yang bumbunya kurang nendang atau condong menguasai pada watak rasa asin dan manis di lidah. Hal tersebut terjadi saat sebelum saya mengetahui jika yang sejauh ini saya makan ialah nasi kapau, saudara tua nasi Padang. Benar-benar ceroboh sekali saya.
Istilah ini sah tidak lagi berlaku sesudah perjalanan religius untuk nasi Padang orisinal yang saya kerjakan pada 2012. Sebentar sesudah landing di Padang, penelusuran nasi kapau dilaksanakan.
“Kita makan nasi kapau ya Mbak. Di sini tidak ada nasi Padang masalahnya, ada kapau. Sama tetapi berbeda. Tenang, saya mengetahui kok tempatnya, kelak dirasa saja sendiri,” jawab Ricky, sopir sewaan dengan optimis. Disana, beberapa hal baru memulai diketemukan.
Ricky bawa saya ke Pasar Atas Bukittinggi. Berbau sangit bumbu rendang mulai kabur tercium walau belum masuk bangunan khusus. Opsi jatuh di warung punya Uni Lis, yang saat itu namanya tersering saya dengar dari teman-teman asli Padang. Piring yang diberikan Uni Lis kelihatan penuh.
Dengan style ala-ala nasi rames, nasi kapau lauk rendang ayam dan sayur gulai berisi kacang panjang, nangka dan kol siap dikonsumsi. Perlu usaha keras habiskan makanan karena jatahnya yang besar. Nasi putih 1/2 jatah mekar sesudah diguyur kuah dan sambal merah. Belum juga tambahan gulai sokong yang telanjur diminta sebagai lauk tambahan.
Dari 3 teritori yang disinggahi, saya mendapati benang merah. Semua bumbu masakan Padang, baik di Bukittinggi, Pesisir Selatan, dan Padang Panjang, berasa lebih berat dibandingkan masakan Padang yang sempat saya makan awalnya.
Tapak jejak kemiri sangrai terasa sangat di olahan gulai kepala ikan, menu makan siang sebuah hotel di Painan. Begitupun pada olahan yang lain, rendang ayam, kalio daging, dendeng kariang (dendeng sapi dengan bumbu cabe merah) bumbunya berasa lebih kompleks, baik dari segi macam atau jumlah.
Perjalanan mencicip beragam warung makan padang setiap kota di luar Sumatera Barat dan Yogyakarta, membuat saya sadar: istilah “Padang-Padangan” yang saya bikin itu benar-benar sembarangan. Walau sebenarnya yang sebetulnya terjadi ialah: ada proses sesuaikan untuk memperkenalkan cita-rasa asli ke lidah yang baru. Proses penyesuaian ini benar-benar wajar terjadi dalam menu sajian lain saat “keluar kandang”.
Pemilik warung nasi Padang yang buka upayanya di luar Sumatera Barat memang menyengaja sesuaikan masakannya dengan lidah dan hasrat warga lokal, tempat mereka buka warung di tanah rantau.
Penyesuaian ini tidak hanya masalah rasa, tetapi juga masalah lauk. Banyak RM Padang yang menggunakan sumber pangan lokal dan terkenal untuk makin mendekat dengan konsumen setia. Di Jawa, ada lauk lele –baik goreng atau balado–, yang hampir tidak saya jumpai di Sumatera Barat.
Saluang, ikan sungai berwujud gepeng ciri khas Kalimantan Selatan, ialah menu bintang selainnya rendang di beberapa rumah makan Padang yang menyebar di jalan raya Trans Kalimantan, penyambung Kuala Kapuas dan Banjarmasin.
Dengan semua kemampuannya, dimulai dari bumbu, jatah banyak, aksesbilitas yang gampang, sampai keluwesan menyesuaikan, tidaklah aneh jika nasi Padang jadi spesial untuk beberapa orang.
Di keluarga kami, nasi Padang selalu tempati status khusus. Di tiap hari peringatan kematian Bapak, satu porsi rendang daging sapi komplet dengan sayur gulai kami sajikan di meja doa. Rendang ialah makanan favorite bapak, dan beliau tak pernah selective masalah rendang. “Bapak tentu sukai rendang, jadi mudah,” kata Ibu yang menyukai gulai sokong.
Jika saya terhitung kelompok gampangan, apa saja lauknya yang perlu nasi Padang. Orisinal tidak orisinal, nasi Padang yang kita mengenal masing-masing ialah versus yang terbaik. Sama spesial. (da.)